PRADIPTA "DEWA GITAR" CILIK
pradipta , 11 tahun

--- -
"4 Besar Gitaris Terbaik Indonesia Music Festival 2004" klas umum / dewasa

- Pemegang 3 Rekor MURI bidang musik

( by keywords gitaris rock termuda )

Anda punya anak berbakat? Berpotensi besar? … So pasti lah ya.. kan semua anak dilahirkan dengan suatu bakat tertentu dan potensi tertentu. Apakah anda ingin anak anda dapat mengembangkan bakat dan potensinya sehingga mendapatkan segala sesuatu yang sepadan dengan bakatnya? Itu lebih pasti lagi lah ya… masalahnya sekarang adalah bagaimana mewujudkan apa-apa yang kita yakini merupakan bakat dan potensi anak agar bisa berkembang dan akhirnya berbuah kesuksesan. Jadi gimana caranya ? Saran saya, jangan andalkan tulisan ini!! Bacalah buku-buku lain tentang bagaimana mendidik anak berbakat yang banyak terdapat di toko-toko buku. Saya bukanlah pakar pendidikan anak maupun psikolog handal yang mampu berteori tinggi soal itu.

Saya hanyalah seorang ayah, teman baik, guru dan sahabat bagi anak saya PraDipta yang kebetulan berbakat dibidang musik khususnya gitar. Saya hanyalah seorang tukang kebun yang berusaha dengan sungguh-sungguh agar bibit unggul yang sudah disemai akan tumbuh dengan sehat, kuat dan optimal. Saya memilih lahan yang baik, menyiram, memupuk, menjaga dari gangguan hama dan mengusir hewan yang diam-diam ingin melahap, juga dari tangan-tangan usil lainnya. Pendek kata segala sesuatu akan saya lakukan untuk merawat dan menjamin bibit unggul ini kelak tumbuh dengan baik sesuai harapan. Saya mengamati dan mencatat setiap proses pertumbuhan bibit unggul ini dari waktu ke waktu, dari inci ke inci. Hanya itu…

Tulisan ini hanyalah kumpulan catatan saya sebagai “tukang kebun” yang menemani pertumbuhan PraDipta, seorang bocah biasa-biasa saja yang menjadi sangat fenomenal di dunia musik Indonesia, karena luar-biasa dalam memetik gitar, namun tetap biasa-biasa saja sikap kesehariannya.

Seorang teman yang sama-sama menjadi juri dengan saya dalam sebuah festival band se Surakarta September 2006 berkata: “ Saya sudah lama mengikuti perkembangan PraDipta baik dari koran majalah dan TV, juga beberapa kali sempat melihat PraDipta manggung.. Tapi baru hari ini sempat ketemu ngobrol. Saya lega dan bahagia sekali, ternyata dia masih tetap polos, sederhana dan rendah hati,… tetap bocah biasa. Karena tadinya saya sempat khawatir juga anak 11 th di blow up besar-besaran gitu pasti mempengaruhi jiwanya jadi nggak nginjak tanah…”

Benar sekali yang dikatakan teman tadi. Rendah hati (yang tulus) adalah salah satu kata kunci untuk segala macam keberuntungan dibidang apapun dan di level manapun. Mungkin sulit dipercaya, tapi saya mengamati dan mencatat bahwa apa yang diraih Dipta sampai ke level sekarang ini adalah buah dari sikap rendah hati. Sikap rendah hati membuatnya terus belajar dan tak segan bertanya kepada musisi / gitaris tingkat kampung sekalipun. Ilmunya terus bertambah , sementara kecintaan orang pada diapun bertambah. Semua lantas seakan membukakan pintu lebar-lebar untuk dilewati PraDipta. Dia sering diundang kesana kemari, bertemu tokoh-tokoh musisi, semakin bertambah ilmu, semakin dikenal, semakin terbuka kesempatan, begitu seterusnya.

Dengan rendah hati pula kami tuangkan tulisan ini, sebagai bahan diskusi , bertukar pikiran tentang perjalanan PraDipta bocah biasa yang menjadi fenomena. Siapa tahu andapun punya anak yang tanpa anda sadari sebenarnya punya bakat besar terpendam. Nah kalau begitu sayapun ingin mendengar cerita tentang anak anda. Gantian ya, sekarang giliran saya dulu yang cerita, besok-besok mungkin giliran anda bercerita tentang anak anda...

Latar Belakang yang Berpengaruh pada Seni Lukis Herri Soedjarwanto


"Sudut Desa Pejeng" oil on canvas karya Herri Soedjarwanto


Latar Belakang Kehidupan. Saya ('numpang') lahir di sebuah desa kecil di Jombang, Jawa Timur: Bayi umur 2 bulan dibawa pindah dan tinggal di sebuah kampung kumuh di Solo. Sejak umur 10 th harus pisah jauh dari orang tua, ngenger pada paman di Kalimantan. Walau tak diminta, saya bekerja layaknya pembantu atau tukang kebun yang mengurus kebon cengkih seluas 2 hektar di desa. Dengan begitu saya terbebas dari perasaan tak enak, karena telah dibeayai sekolah.
Selepas SMA (1976) kembali ke Solo. Sempat menjadi buruh kasar, sempat bikin komik bareng Asmaraman Kho Ping Hoo sebagai penulis naskahnya, sebelum akhirnya total melukis untuk menopang ekonomi keluarga. Sejak usia remaja saya sudah terbiasa menjadi tulang punggung keluarga dan terus menjalani hidup sebagai pelukis sampai sekarang.
Tahun 1977akhir, bergabung dengan pelukis Dullah di Bali, tinggal di Pejeng sebuah desa tua yang masih asli, cukup ‘lugu’. ( sangat kontras bila dibandingkan dengan Ubud yang nyaris jadi desanya orang bule ).
Jadi , sebagian besar masa muda saya jalani di desa-desa kecil atau di kampung kumuh di kota. Lebih banyak kontak dengan alam, manusia-manusia lugu, orang-orang kalah dari kelas tertindas. Ini semua ternyata berpengaruh besar terhadap kehidupan seni lukis saya di kemudian hari... Kanvas saya banyak berkisah tentang kehidupan mereka...

Dari Jalanan Sampai Lukis Presiden

Dari Jalanan Sampai Lukis Presiden
" Pak Harto si Anak Desa" koleksi Museum Purna Bhakti Pertiwi. Jkt.

klik ikon untuk ke Blog Utama Pelukis Realis Indonesia